Senin, 19 Februari 2018

Budaya Ngemis

Kikis Budaya Ngemis

Mencari pengemis bukan hal yang sulit dilakukan saat ini. Hampir pasti dapat kita temukan pengemis di setiap kota. Pasar, pertokoan, terminal, statsiun kereta api, lampu stopan, tempat-tempat jiarah bahkan mesjidpun dijadikan lahan strategis bagi mereka untuk mengais kehidupan dengan cara ngemis. Beragam modus operandi dilakukan mereka asalkan orang menaruh belas kasihan dan simpati sehingga saku penuh dengan uang recehan.
 Recehan lima ratus, seribu atau lembaran dua ribu seringnya mereka terima. Namun tatkala dikumpulkan dan dihitung dalam kurun waktu sebulan ternyata dari recehan yang tak seberapa itu jumlahnya sangat fantastis. 
Survei yang dilakukan oleh sebuah statsiun televisi swasta membuktikan bahwa seorang pengemis dapat mengumpulkan uang kisaran 5 sampai 10 juta bahkan lebih dalam waktu sebulan. Satu penghasilan yang luar biasa bila dibandingkan dengan profesi lain yang memiliki standar penghasilan minimum. Hanya, untuk mendapatkan penghasilan dari ngemis itu ternyata ada konsekuensi logis yang harus ditanggung. Siapa saja yang mau ngemis harus rela mengorbankan rasa malu dan harga diri.        
Rasa malu saat ini, bak barang rumah tangga yang bisa digadaikan tatkala kepeped. Malu yang menurut sebuah hadits adalah sebagian dari iman ternyata harganya sangat murah bahkan cenderung diobral untuk memenuhi tuntutan ekonomi yang terus menghimpit. Mereka tak segan mengorbankan sebagian imannya untuk keperluan hidupnya. Bahkan faktanya, akibat lenyapnya rasa malu pada diri manusia, sikapnya jauh lebih rendah dari pada binatang.
Dapat dibayangkan apa jadinya bangsa ini jika rasa malu mulai terkikis. Bangsa ini lambat laun kehilangan harga diri dan tereliminasi dari kancah dunia. Kita menjadi bangsa yang tidak memiliki martabat alih-alih bangsa yang hebat.  
Kita menyadari bahwa salah satu faktor penting yang memengaruhi kemajuan negara ini adalah budaya malu. Sebagai contoh Jepang misalnya, negara ini dapat mensejajarkan diri dengan negara maju lainnya karena budaya malu yang mereka milikiMereka menjelma menjadi bangsa yang memiliki prinsip kuat tidak mau menyusahkan orang lain dan tidak mau dikasihani orang lain bahkan dalam usia lanjutpun mereka tetap berusaha hidup mandiri. Komitmen mereka sangat kuat sehingga mereka memilih lebih baik mati daripada harus menanggung malu.    
Sebelum hal yang tidak diinginkan menimpa bangsa ini ada baiknya mensikapi persolannya sekaligus solusinya dengan bijak dan arif.  
Pertama perlunya payung hukum yang kuatFungsinya menaungi aturanyang melarang pemberian uang kepada pengemis. Tanpa payung hukum yang kuat kemungkinan besar sulit mengatasi persoalan. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mengeluarkan aturan larangan memberi uang kepada pengemis sekaligus sanksinya guna memberikan efek jera. Baiknya sosialisasikan dulu aturan tersebut kepada publik sehingga mereka paham akan maksud dan tujuan peraturan tersebut. Tentunya, dampak yang diharapkan adalah berkurangnya pengemis.     
Kedua berdayakan peranan ulama. Para ulama terutama dalam ceramahnya agar memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa mengemis adalah pekerjaan yang hina. Masih banyak pekerjaan layak lainnya yang bisa menjadi pilihan dan tidak perlu menggadaikan harga diri dan rasa malu. Disamping itu, ulama dapat menjelaskan lebih detil kepada siapa dan dimana sebenarnya memberikan sedekah yang tepat.      
Ketiga optimalkan peranan pendidikHarus disadari bahwa peranan guru sangat sentral dalam membangun karakter. Guru berkewajiban menanamkan karakter mandiri, tangguh, dan ulet kepada peserta didik baik di dalam kegiatan belajar mengajar maupun ekstrakurikuler sehingga mereka siap menghadapi peliknya persoalan hidup. Guru tidak hanya mengajari peserta didiknya untuk menggapai cita-cita tetapi juga melatih mereka untuk siap menerima kegagalan. Guru memiliki banyak kesempatan menceritakan kisah-kisah inspiratif misalnya bacaan Chicken Soup for the Soul untuk membangkitkan spirit hidup peserta didik dan bagaimana perjuangan seseorang dalam menggapai impiannya.   
Akhirnya dengan langkah-langkah yang konstruktif, kita berharap mental pengemis yang desktruktif dapat terkikis. Kedepan mudah-mudahan akan terlahir generasi muda yang progresif dan kompetitif sehingga dapat melanjutkan perjuangan dan cita-cita bangsa. Semoga.  

Penulis adalah
Dr. Syarif Hidayat, S.Pd., M.T
Pengawas Dinas Pendidikan
Provinsi Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar